Jember - Untuk kali kedua aku bertandang ke Jogjakarta dalam rangka menjalankan tugasku sebagai jurnalis. Yang pertama aku ke Jogjakarta, ketika bencana gempa bumi berskala 5,9 richter menimpa Jogjakarta 27 Mei 2006.
Kala itu aku diminta ikut rombongan Bupati Jember Ir MZA Djalal yang datang ke wilayahnya Sri Sultan Hamangkubowono X untuk menyaksikan upaya pemerintah Jember membantu ribuan korban bencana.
Daaaaannnnn untuk kali keduanya, aku berangkat lagi ke Jogjakarta dalam rangka mengikuti tim volley Jember Pemkab yang bertanding melawan tim volley Yuso Tomkins Kabupaten Bantul, di Gor Pangukan – Kabupaten Sleman.
Untuk perjalananku kedua ke kota Gudeg ini cerita serunya jauh lebih banyak jika dibandingkan perjalanan pertamaku saat bencana. Betapa tidak, perjalananku dan teman wartawan lain yang ikut dalam rombongan itu (Gogot – Repoter Radio Soka, Anam – Wartawan Media Indonesia dan Yudi – Wartawan Harian Bangsa) untuk kali pertama merasakan pahitnya dibohongi tukang becak.
Ceritanya Minggu (10/3), aku, Gogot, Yudi dan Anam jalan-jalan ke Malioboro. Impianya dengan sedikit bekal uang yang kubawa dapat kubelanjakan oleh-oleh untuk istriku Upik, dan malaikat kecilku Lintang. Tak ubahnya aku, tiga temanku-pun punya impian yang sama. Yakni membelanjakan sedikit bekal uang untuk orang-orang tercinta yang ada di rumah.
Singkat cerita, usai membelikan oleh-oleh yang memerlukan perjalanan panjang. Aku dan tiga temanku memutuskan kembali ke hotel Cokro Kembang jalan Kaliurang tempat kami menginap.
Untuk kembali ke hotel sebenarnya banyak sarana kendaraan yang bisa digunakan, mulai angkot, taxi, andong hingga busway. Tapi kali itu teman-teman memutuskan untuk menggunakan kendaraan becak.
Alasanya sich sederhana, itung-itung dengan menggunakan becak kita dapat melihat-lihat suasana Jogjakarta lebih puas. Dan alhasil dua becak dipilih untuk mengantarkanku pulang.
Dengan ongkos becak yang dapat dikatakan murah Rp 10.000,- kami berharap acara menikmati Jogjakarta dapat berjalan. Tapi celakanya sebelum rencana itu berjalan mulus kedua tukang becak yang mengangkut aku dan kawan-kawanku tiba-tiba memutuskan untuk tak melanjutkan kesepakatan mengantarkan aku dan kawan-kawan ke hotel.
Tepatnya di depan pusat jajanan khas Jogja bakpia pathok, salah satu tukang becak yang mengangkut kami mempertanyakan tepatnya letak hotelku di daerah mana.
“Hotelipun dateng kilometer pinten to mas,(Hotelnya diklimoter berapa mas)”kata tukang becak kepada ku dan teman-teman.
Pertanyaan itu-pun kujawab. “Kilometer gangsal pak, ngopo,(Kilometer lima pak ada apa)” begitu kataku saat itu.
Tak kusangka atas jawaban itu, tukang becak yang semula sepakat untuk mengangkutku hingga ke hotel, secara mendadak menurunkanku. “Wah tebih meniko mas, kulo mbonten sanggup, njenengan niteh taxi mawon, lajeng ongkose dateng jajanan mriki cukup kaleh ewu mawon,(Wah jauh itu mas, saya tidak sanggup, anda naik taxi saja, kemudian ongkosnya ketempat kue khas di sini cukup dua ribu saja) ”ujarnya nyantai.
Bak disambar petir di siang hari aku dan teman-temanku sontak memaki-maki sang tukang becak. Mulai makian paling halus hingga kasar muntah semua dari mulut teman-temanku.
Dan lucunya tukang becak yang semula begitu kasar saat berhadapan dengan kami kalai pertama langsung ciut dan ngacir. Tukang becak itu mengayuh demikian cepat pedalnya hingga tak memperdulikan padatnya jalan raya saat itu.
Dalam benaku cuma terlintas, rasahin lu sekarang kena batunya harus berhadap-hadapan dengan orang Jember - Jawa Timur yang terkenal dengan karakter kasar. Apalagi temanku si Yudi yang hingga hari ini paling terkenal jago memaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar